Pagi ini gue dan suami yang sudah menginap di Garut sejak semalam, bersiap untuk Naik Gunung Papandayan!
Ah Yes, rasanya kayak menang lotre.
Soalnya gue udah serriiingg banget ngulang-ngulang kepengenan untuk naik gunung yang satu ini. “Minggu depan yuk.. Pas liburan nanti yuk… Pas anniversary yuk….Bulan depan yuk mumpung gak lagi musim hujan..” dan rangkaian “yuk” lainnya yang nggak ada yang pernah kejadian.
This time, NO TURNING BACK. Kita udau di Garut dan udah telponan sama Guide kita yang sudah menanti di kaki gunung. YUKKK!!
Loh, Pake Guide, Liv?
Iya. Bukannya mau manja sih, tapi ya play safe aja. Kita belum pernah ke Papandayan sebelumnya, jadi mending di temenin Guide daripada sotoy lalu mengundang resiko.
Kita hari ini akan mendaki dengan sistem tek tok alias tidak menginap/camping. Persis seperti yang kita buat waktu mendaki Gunung Batur di Bali.
Gue tadinya mau naik malam (sekitar jam12) untuk mengejar sunrise, tapi terhalang dua hal: Ini sedang musim hujan sehingga sunrise hampir tidak pernah terlihat selama beberapa minggu terakhir, dan Papandayan sejak covid mengikuti anjuran pemerintah untuk tidak mengijinkan pendaki berangkat malam. So musnah sudah keinginan gue.
Loket pendakian baru buka jam 7 pagi jadi kita tiba kurang lebih di waktu tersebut.
Guide kita sudah menunggu dan kitapun kenalan lalu bersiap naik. Kita bertiga berdoa dulu dan kita ditawarkan mau naik ke atas pake rute pendek atau rute panjang. YA SUDAH PASTI RUTE PANJANG. Kalau bisa yang paling panjang! Abis masak udah sampe sini, nggak kemah pula, terus milih rute pendek. Rugiiii bener!
Belum banyak pendaki yang hadir waktu kita perlahan naik ke atas. Baguslah.
Jalur awal berupa tanah berbatu yang mengarah ke kawah yang cukup aktif dengan asap mengepul dimana-mana. Langit biru berawan terlihat kontras dengan dataran didepan mata sehingga terlihat sangat eksotis.
Kita lalu terus mendaki ke atas sampai bertemu dengan beberapa deretan warung tempat istirahat. Suami minum kopi panas, sedangkan gue teh panas sama ngemilin buah semangka yang dijual Si Ibu. Disini juga ada WC yang berfungsi cukup baik.
Papandayan memang terkenal ramah untuk pendaki. Si warung dan WC ini buktinya. Jarang ada kan di gunung-gunung lain fasilitas beginian di tengah rute. Guide kita bercerita bahwa sudah beberapa tahun Papandayan diambil alih pengelolaan oleh swasta. Harga tiket masuk jadi agak sedikit lebih mahal, tapi beberapa fasilitas niat dibangun. Lokasi wisata inipun jadi lebih aman, bebas dari para tukang palak nakal yang tadinya banyak beroperasi dan merugikan pendaki. Asuransi pun ditambahkan di tiket sebagai bagian dari layanan. Katanya swasta ‘menyewa’ pengelolaan ini untuk 50 tahun kedepan. Bagi Guide, ini jauh lebih baik ketimbang ketika masih dipegang pemerintah daerah.
Lanjut naik, kami ketemu hutan-hutan dengan jalur pendakian menanjak yang mungkin agak berat kalau untuk pemula. Tapi hutannya cantik… kabut mulai turun dan langit biru mulai pamitan pergi, sehingga suasana jadi misterius. Kayak lokasi syuting film bentuknya. So pretty.
Jalur ini mengarahkan kita ke tempat kemah pertama di Papandayan. Disini tempat para pendaki melihat sunrise katanya. Lagi-lagi ada warung yang menunggu kita, menyiapkan teh dan kopi ronde 2 untuk gue dan suami. Kali ini gue memilih buah mangga untuk jadi cemilan. Hujan rintik kecil mulai turun membuat udara dingin merambat masuk ke baju hijau lengan panjang yang gue pake.
Gue seneng banget disini karena ketemu dengan beberapa ekor kucing dan anjing gunung yang ramah dan lucu. Sebagai pecinta hewan, ketemu mereka selalu bikin mood gue nambah beberapa persen.
Hujan ternyata nggak lama, kitapun lanjut sekitar 15 menit mengarah ke tempat perkemahan yang lebih besar bernama Pondok Saladah. Orang-orang lebih banyak yang lebih memilih camping disini karena lokasinya yang berbentuk tanah lapang luas. Kemah disini juga saling berdekatan dengan yang lain dan jadinya lebih aman karena masih banyak babi hutan yang suka datang cari sisa makanan, bahkan masih ada harimau juga loh di Papandayan. Jadi hati-hati yang kalau lagi naik Gunung Papandayan.
Di sisi atas ada ‘taman eidelweiss mini’ yang cantik banget karena dikelilingi hutan padat disekitar. Sebenarnya ada Tegal Alun, the real taman eidelweis di Papandayan. Tapi lokasi itu masih merupakan cagar alam yang dilindungi oleh pemerintah dan tertutup untuk umum.
Kabarnya sih ditutup juga karena ulah pendaki bandel yang mengancam keindahan tempat tersebut. Pemerintah memilih untuk menutupnya sekalian dan tidak memasukannya kedalam kuasa pihak swasta. Kalau mau maksa kesana bisa sih, tapi ya kalau sampai ada apa-apa, tidak terlindung oleh asuransi dan hm, melanggar peraturan itu namanya – hanya demi kepuasan pribadi. So, walau gue penasaran bentuknya kayak apa, kita memilih untuk tidak kesana.
Dari daerah ini, kita lanjut ke Hutan Mati. Ini daerah khas Gunung Papandayan. Kawasan hutan, tapi semua kayunya hitam terbakar tanpa daun akibat letusan Gunung. Kata Guide kami, dulu area Hutan Mati jauh lebih luas. Tapi ya sama aja kisahnya, para pendaki tak bertanggung jawab suka colongan nebangin pohon untuk dibuat jadi api unggun.
Yaelah tong, iseng banget sih lo pada nebangin pohon-pohon di hutan ikonik ini demi supaya anget doang??? gilak yaaa!
Mungkin satu orang mikir, “ah cuma gue doang kok yang nebang… dikit doang gapapa kali ya.. nggak akan abis kayunya”… dan 1000 orang yang lain mikir dan berbuat yang sama. Pfftt.
Kami cukup lama disini. Langit abu-abu gelap bikin tempat ini makin keren. Kabut turun juga membuat cantik suasana. Mana sepiii banget… cuma ada 3-4 orang lain disekitar. Guide kita bilang kita tergolong hoki karena biasanya kalau lagi cerah, ini tempat bisa bikin gosong badan karena panas menyengat yang bikin nggak betah lama-lama di sini. Dan kalau lagi rame, dia bilang susah cari pose oke karena orang bakal bertaburan disana sini, sehingga perlu skill ngedit tinggi kalau mau post foto tanpa muka orang lain tertangkap kamera.
Kita emang beruntung banget, jam 12 teng berdiri disini tapi suasana adem tanpa hujan. Sepanjang jalan naik Gunung Papandayan tadi juga udara dan suasana sangat bersahabat.
Setelah puas melihat pemandangan, kami turun. THIS IS MY LEAST FAVORITE PART. Turunan dari hutan mati tuh bentuknya tangga berbatu. Ahhh I hate turun tangga berbatu. Mending turunan biasa, bukan berbentuk tangga. Nggak nyaman aja buat gue. Hampirrrr aja gue ngomel gak berhenti. Lalu gue inget kalau gue bisa AKHIRNYA naik Gunung Papandayan juga, and it’s a good hike, lalu gue berenti pun bersungut-sungut.
Bersyukur bisa mendaki hari ini. Bersyukur banget. Eh satu lagi yang gue lupa mention, kita kesini dalam rangka suami lagi ulang taun this week. Buat kalian yang kenal suamiku, pasti nggak heran kenapa dia milih naik gunung jadi aktivitas di birthday week-nya dia. Jadi inget di Bali beberapa taun lalu, kita jumpalitan kayak monyet lalu menyusuri sungai yang cukup dalam pas dia ulang taun juga. Makin bersyukur karena kita bisa naik dan turun dalam keadaan baik dan sehat on this special occasion.
Kita nggak camping hari ini sebenarnya juga karena alasan yang sama. Suami ulang taun, jadi kita booked hotel yang cukup oke di Garut dan sayang kalau hangus nggak dipake. Kita juga udah ngeh sih kalau ini musim hujan, artinya kurang nyaman untuk tinggal di tenda sambil kedinginan dan keujanan terus mo tiup lilin segala. Halah bikin repot. Jadi pas tau ada option ‘naik Gunung Papandayan tanpa camping’, langsunglah kita pilih.
Mendekati kaki gunung, kita ketemu banyak sekali orang yang baru mau mulai start naik. Golongan pertama ialah mereka yang bawa tenda camping. Golongan kedua ialah mereka yang mau jalan manis sambil selfie dan foto-foto aja, dengan niatan ke kawah dibawah atau potong jalur langsung ke Hutan Mati abis itu turun lagi. Banyak pasangan prewed yang ternyata melakukan itu di sini.
Untuk turun ke bawah dari kawah pun, mereka bisa pake OJEK loh. Yes, para motor stand by nganterin siapapun yang males turun pake kaki sendiri. Sebenernya jalur motor (khusus motor trail) ada bahkan sampai puncak. Beberapa motor melewati kita waktu kita lagi mendaki. Tapi medannya serem banget sih. Entah berapa kali mereka melakukannya sehingga sampai se-jago itu!!
Sampai kembali ke mobil dan lepas sepatu ganti sendal, jujur gue nggak ngerasa abis mendaki gunung. Cuma pegel biasa doang badan, nggak sampai kapok. Suami bahkan niat naik lagi kapan-kapan, tapi mau full lari, nggak jalan. Dia udah perkirakan sampai catatan waktu targetnya untuk next time ke Papandayan.
Oke Guys, sekian cerita kali ini. Untuk kalian yang masih ragu mau kesini, what are you waiting for ? Cantik lokasinya, seru, dan easy kok. Beneran. Gue aja bisa, kalianpun pasti bisa.
And Thank YOU GOD for today akhirnya bisa naik Gunung Papandayan. Aku dan suami Happy. (Fyi, this story is from year 2021). Kalau ada yang mau di tanyain silahkan tinggalin komentar dibawah ya:)
Oya, buat yang pertama kali main ke blog ini dan mau subscribe blog gue, boleh banget loh. Post baru tentang travel gue akan langsung masuk ke email kalian.
// Info Guide bisa langsung menghibungi Garut Adventure //
I like the mountains because they make me feel small – Olivelatuputty.com/blog – @shiningliv